100% INDONESIA











































 
























TITIAN 
SEMESTA KELAM
"Maka bersabarlah engkau, sesungguhnya janji Allah 
itu benar. Meskipun kami perlihatkan kepadamu sebagian
azab yang Kami ancamkan kepada mereka, atau pun 
Kami wafatkan engkau (sebelum ajal menimpa mereka),
namun kepada Kamilah mereka dikembalikan."
                                   (QS. Gafir : 77) 

  SUMBER INSPIRASI
"  Demi rombongan yang
bershaf-shaf, demi rombongan
yang mencegah  sungguh-sungguh
demi (rombongan) yang membacakan peringatan.
Sungguh,Tuhanmu benar-benar Esa. Tuhan langit
dan bumi dan apa yang berada di antara
keduanya dan Tuhan tempat-tempat terbitnya matahari. 
Sesungguhnya Kami telah menghiasi
langit dunia (yang terdekat), dengan hiasan bintang-bintang."
                                        (QS. Ash-Shaffat : 1-6


















DOKUMENTASI BULETIN DAKWAH MEDIA ASH-SHAFFAT
BUMI SEMAKIN TERANCAM
Orientasi Kiamat dan Fitnah Akhir Zaman
Oleh : RIDWAN M, S. Ag

"  Allah yang menurunkan kitab (Al-Qur'an) dengan (membawa)
kebenaran dan neraca (keadilan). Dan tahukah kamu, 
boleh jadi hari kiamat itu sudah dekat ?"
                                                       (QS. Asy-Syura : 17)

Penerbit : BINA PENGABDIAN DAN KEPEDULIAN UMAT
DIMENSI KHAZANAH STUDI ISLAM ASH-SHAFFAT
Pembina : Drs. H. Abd. Hakim. Penasehat : H. Hading Wase, Lc, MA,
H. Mustari Tahir, S. PdI,  Pelindung : Sulaeman Milla, S.Ag, MA.
Muh. Ridwan Kasim, S.Ag. Penanggung jawab : H. Abdullah Wahab, Lc. 
 Pimpinan Redaksi : Ridwan M, S.Ag.














































PERCIKAN  TANAH  AIR

Hubungan antara pandangan agama

dengan pembangunan bangsa dan negara



         Nabi Muhammad SAW terbukti telah berhasil menata dan mengentaskan kebodohan kaum jahiliyah Quraisy dari alam kegelapan menuju kepada cahaya kebenaran, dari lembah kebiadaban menuju ke puncak peradaban, semua itu terwujud berkat sisi ajaran Islam yang visi penyampaiannya merupakan format pengamalan akhlak yang mulia. Hingga saat ini, ruh kebenaran dan sinar kemuliaan Islam telah menyebar ke berbagai penjuru dunia, bahkan sampai di tiap-tiap pelosok bumi dari pedalaman, lembah dan pegunungan.

         Bagaimana Islam dapat menyinari dan menaungi seluruh kehidupan manusia? Tidak lain adalah karena ajaran Islam didirikan atas prinsip keteguhan 5 dasar utama. Kelima dasar utama ini memberikan efek positif bagi setiap orang Islam untuk mempertahankan keberadaannya sebagai makhluk beragama yang menjaga nilai kehidupan sosial. Dengan melaksanakan prinsip dasar utama ini, seseorang secara vertikal berhubungan langsung hubungan ibadah dengan Allah dan memiliki hubungan harmonisasi secara horizontal dengan masyarakat. Kelima dasar utama ini, selanjutnya disebut rukun Islam, yaitu:

1.  Mengucapkan dua kalimat syahadat

2.  Mendirikan Shalat

3.  Menunaikan Zakat

4.  Berpuasa di bulan suci Ramadhan

5.  Naik haji ke Baitullah bagi Yang mampu

   

Sabda Nabi Saw:

“Islam itu dibangun atas dasar lima perkara; bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, berpuasa di bulan Ramadhan, serta pergi haji.”  (HR. Bukhari, Muslim dan Ahmad)



          Dengan tidak bermaksud untuk menggurui, penulis menghubungkan ide utama terbentuknya Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana dituangkan dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang mengakui tentang wujud proklamasi kemerdekaan Indonesia sebagai anugrah yang terjadi atas berkat rahmat Allah disertai dorongan keinginan luhur  dan cita-cita mulia dari beberapa pokok pikiran para perintis atau pendiri bangsa  yang melatarbelakangi  dirumuskannya dasar Negara kita Pancasila, sehingga secara tidak langsung jelas tidak terlepas dari prinsip dasar utama Islam atau rukun Islam. Sebab mereka (para pendiri bangsa) umumnya merupakan tokoh masyarakat yang pada masanya memiliki berbagai bekal wawasan pengetahuan, pemahaman dan pengamalan keagamaan yang teguh. Refleksi yang bisa dikaji secara  Islami dengan pemahaman terbuka terhadap; Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa. Sejalan dengan rukun Islam pertama, Mengucapkan dua kalimat syahadat. Sila kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, semakna dengan mendirikan Shalat. Sila ketiga, Persatuan Indonesia, Seiring dengan menunaikan Zakat, Sila Keempat, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan, sangat berhubungan erat dengan hikmah pelaksanaan yakni; Berpuasa di bulan Ramadhan, Sila Kelima, Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia, berkaitan dengan Naik haji bagi yang mampu.

          Untuk lebih jelasnya, penulis mencoba  menguraikan penjelasan bahwa; dasar pertama Pancasila yakni sila Ketuhanan Yang Maha Esa tentu sangat sejalan dengan rukun Islam mengucapkan syahadat sebagai kesaksian masyarakat Indonesia tentang adanya Tuhan yang satu, tempat kita bermohon dengan penuh ketergantungan dalam menjalani kehidupan ini. Meskipun, pada hakikatnya sesuai kenyataan di negara kita ini, agama Islam sebagai agama mayoritas yang dipeluk oleh rakyat, tetapi kita harus mengakui bahwa di antara rakyat Indonesia terdapat sebagian lainnya  yang menganut agama dan kepercayaan yang  berbeda. Karena itu, semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” begitu ampuh telah mempersatukan kita semua sebagai saudara se-bangsa dan se-tanah air. Sehingga,  sila pertama dalam piagam Jakarta yang rumusan awalnya bersambung kalimat dengan kewajiban melaksanakan syari’at Islam bagi para penganutnya, kemudian harus direvisi secara bijaksana demi memelihara persatuan dan keutuhan bangsa secara umum, sebagaimana diketahui bersama bahwa Islam tidak membenarkan  adanya pemaksaan dalam agama.

          Selanjutnya, Sila Kedua, Kemanusiaan yang Adil dan beradab sangat berkaitan dengan rukun Islam kedua mendirikan Shalat, di mana kita menyadari bahwa manusia sebagai makhluk Tuhan  yang adil dan beradab kita wajib menyembah-Nya. Di dalam ibadah shalat yang ditunjukkan adab pengagungan Tuhan dengan Takbir, dan  diakhiri dengan ucapan salam yang bermakna kewajiban memelihara adab bermasyarakat penuh ketulusan menjabarkan keselamatan kepada sesama manusia secara adil.

          Untuk Sila Ketiga, Persatuan Indonesia, jika dikaitkan dengan rukun Islam ketiga; yakni menunaikan zakat, bahwa  zakat bertujuan mempersatukan antara rakyat yang kaya dengan rakyat yang kebetulan hidup menderita dalam kemiskinan karena nasibnya kurang beruntung. Sehingga, di dalam masyarakat tercipta prilaku luhur untuk saling berbagi dan memelihara nilai persaudaraan yang akrab dalam prinsip hidup senasib dan sepenanggungan, untuk bersatu padu mengisi kemerdekaan dengan semangat bergotong-royong membangun bangsa yang kita cintai bersama.

           Sila Keempat, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyarawatan/perwakilan, kaitannya dengan rukun Islam keempat berpuasa di bulan Ramadhan bermakna luas sebagaimana yang kita ketahui bahwa puasa ramadhan bertujuan untuk melatih pengendalian diri sehingga terbentuk watak kebijaksanaan, yang pada hakikatnya melalui jalan musyawarah dan mufakat dari beberapa utusan perwakilan yang dipilih oleh rakyat, termasuk orang pilihan yang bijaksana maka memungkinkan terbentuk pelaksanaan kepemimpinan negara sesuai dengan harapan seluruh rakyat Indonesia.

          Demikian pula, termasuk sila Kelima, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, yang berkaitan erat dengan rukun Islam kelima, naik haji bagi yang mampu yakni perlunya tercipta kesejahteraan hidup yang adil dan merata agar dapat terwujud kehidupan masyarakat  makmur dan tentram. Jadi, apabila  kesejahteraan bagi rakyat telah merata, maka seluruh lapisan masyarakat memiliki kemampuan material yang terpenuhi untuk mampu melaksanakan peningkatan pendekatan spiritual dengan menunaikan ibadah Haji, yang pada akhirnya terwujud keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

           Dengan demikian, tentu sangat menyedihkan jika konsep syari’at Islam dianggap bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila. Justru, penegakan syari’at yang benar tentu dimulai dari refleksi sikap kepribadian hidup bersama kesadaran ber-masyarakat, ber-bangsa dan ber-negara, yang dilaksanakan dengan tulus, baik sebagai individu maupun sebagai kelompok, tentu se-iring dan se-jalan dengan cita-cita besar Pancasila sebagai Ideologi Negara serta Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Semoga hal ini, menjadi bahagian inspirasi dari sepercik perenungan nuansa pemikiran kita semua, sehingga seluruh komponen bangsa turut bersama mengambil peranan mulia demi cita-cita proklamasi kemerkaan bangsa Indonesia, termasuk mayoritas umat Islam untuk dapat memahami dan menerima Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa, yang merupakan pancaran nilai luhur yang akan tetap dipertahankan  menjadi jati diri bangsa yang abadi, karena pada hakikatnya ternyata tidak bertentangan prinsip dasar rukun Islam. Wallahu a’lam.  




























Mengenal dan Menelusuri

Citra Kebangsaan dan Keindonesiaan



       Indonesia adalah sebuah kata yang kalau penulis tidak keliru, dipopulerkan oleh Adolf Bastian, seorang yang berkebangsaan Belanda. Selanjutnya menjadi bahan perbincangan menarik bagi para putra pribumi yang menuntut ilmu pengetahuan pada zaman penjajahan Belanda waktu itu. Setelah putra-putra terbaik bangsa ini, kembali ke tanah airnya. Beliau serta-merta timbul rasa kebangsaannya, lalu terbuka pikirannya untuk bangkit berjuang akibat terharu melihat nasib tanah leluhurnya yang telah takluk merana tak berdaya di bawah penindasan penjajah Belanda. Betapa tragis sebagai putra pribumi, mereka merasakan penderitaan bangsanya yang selama  lebih tiga ratus tahun hidup di bawah tekanan penjajah.

   Begitulah, sehingga kemudian dibentuk organisasi kepemudaan pertama yang bernama Budi Utomo, pada tahun 1908 oleh Bapak Dr. Sutomo. Kemungkinan Budi Utomo ini dimotivasi keinginan untuk membangun Indonesia dengan membentuk sikap patriotik pemuda agar memiliki budi pekerti yang utama demi membangun karakter para pemuda saat itu. Kisah ringkasnya, gema kebangkitan nasional mulai terkuak dengan lahirnya berbagai organisasi kepemudaan yang bersifat lokal kedaerahan di beberapa pulau di nusantara. Perjuangan pergerakan pembabasan dari penindasan penjajah terus berlanjut dengan pengorbanan jiwa-raga, harta dan air mata. Pada tahun 1928, bermunculan ide untuk mengenang kembali sejarah kejayaan sumpah palapa yang pernah  menjadi ikrar Kebesaran Mahapatih Gajah Mada dalam perjuangan beliau mempersatukan kepulauan nusantara di bawah kekuasaan kerajaan Majapahit.

          Para pemuda dari berbagai suku dengan latar belakang budaya serta adat istiadat dan agama, selanjutnya pada tanggal 28 Oktober 1928,  berbagai organisasi kepemudaan yang masih bersifat lokal, sepakat mengadakan deklarasi kebulatan tekad bersatu dalam ikrar kebangkitan nasional yang dikenal dengan Sumpah Pemuda.  Di dalam perjalanan perjuangan pembebasan bangsa dari penindasan penjajahan,  mendapat tantangan berat yang dipikul oleh para perintis, pelopor dan pendiri bangsa ini dengan pengorbanan jiwa dan raga, sampai kepada kemerdekaan yang kita nikmati sekarang ini sebagai anugrah Ilahi yang dipersembahkan oleh para pahlawan dan gugur bertabur bunga kusuma bangsa di tanah tumpah darah Indonesia.

         Selanjutnya, kita kembali untuk  membahas kata Indonesia, yang sudah tidak asing lagi bagi kita. Untuk itu, penulis sejenak membawa kita  berpetualang menelusurinya dengan terjemahan bebas tapi dibatasi oleh dugaan nalar semata, bahwa ada kemungkinan nama Indonesia yang bersama kita cinta ini. Tidak terlepas dari sejarah di mana sejak dahulu, nusantara dikenal sebagai “Zamrud Khatulistiwa” surganya hasil bumi termasuk rempah-rempah, dan berbagai kekayaan alam di dalamnya, sehingga menjadi tujuan perburuan bagi bangsa penjajah untuk memperebutkannya.

           Konon, di kalangan penjelajah bumi sejak dahulu kala. India menjadi sasaran pengembaraan mereka karena tergiur dengan kisah yang dibicarakan tentang adanya sebuah tempat yang memiliki ciri khas budaya unik dengan kemolekan wanita-wanita cantik yang menggiurkan syahwat kelelakian akibat pesona busananya yang transparan bagaikan bidadari. Demikian menariknya sehingga di mata petualang bumi pada waktu itu, india menjadi tempat incaran. Ketika, Kolombus berhasil  menemukan benua Amerika. Ia menduga bahwa suku Apache itulah kemungkinan suku India yang mereka pernah didengar dari kisah turun-temurun para leluhurnya, sehingga ia kemudian menyebutnya Indian.

        Bukan tidak mustahil,  dengan kekayaan alam yang melimpah dari hasil bumi nusantara, menjadi inspirasi para penjajah Belanda sehingga menyebut negeri  subur ini dengan nama wilayah otoritas pemerintahan Hindia Belanda. Konotasi kata inilah yang selanjutnya menjadi sebutan Indonesia bagi seorang Adolf Bastian. Ungkapan nama Indonesia, kemungkinan  nama lain Nusantara. Apabila kita rangkum dalam penjelasan bebas dalam batasan nalar penulis, yakni Nusa artinya kepulauan dan antara artinya batas wilayah,  berarti kumpulan berbagai pulau yang berserakan di antara batas wilayah benua Asia dan Australia. Sementara, nama Indonesia bermakna sama namun memiliki spesialisasi tersendiri bagi bangsa Belanda pada arogansi kekuasaannya, yang mengklaim secara otonomi Indonesia sebagai India di Asia Tenggara, apalagi agama yang dianut leluhur kita waktu itu, memang mayoritas hindu dan budha yang berasal dari India. Jadi, tidak ada salahnya kita tetap bangga sebagai bangsa Indonesia, karena bangsa besar ini merupakan kebanggaan bersama.

     Masalahnya, yang paling mendasar saat ini adalah terkikisnya nilai-nilai keindonesiaan dan  mulai terasa akibat kembalinya nilai-nilai kedaerahan merasuk pada pikiran-pikiran anak bangsa yang terjadi karena adanya ambisi arogansi kekuasaan dan tipologi kesukuan yang dibesar-besarkan sehingga bisa memicu keretakan nilai kehidupan berbangsa dan bernegara, terkadang keluar dari tatanan luhur nilai kebhinnekaan. Demikian pula terjadinya konflik perkelahian kelompok saat ini, bukan tidak mungkin muncul karena nilai-nilai kebhinnekaan tersebut mulai bergeser, bahkan sampai isu seputar hakikat keagamaan dalam hal ini; sebagian kelompok ekstrim Islam dengan arogansi jihad mereka, membuat masyarakat  umum tidak merasa aman dengan perjuangan ekstrim dari para terorisme.

           Padahal, jika Allah SWT berkenan memberikan hidayah kepada kita umat Islam. Tentu kita  bangsa Indonesia meyakini, bahwa pancasila sebagai sumber inspirasi berbangsa dan bernegara adalah merupakan pancaran manifestasi keteguhan keyakinan dari para pendahulu kita yang menuangkannya sebagai pedoman penghayatan dan pengamalan nilai-nilai dasar utama dalam agama, yakni rukun Islam.  Bukankah Islam yang telah diantarkan Nabi Muhammad saw, merupakan misi abadi yang bergema  dengan panji Rahmat bagi Semesta Alam”  Beliau pun (Nabi SAW) berpesan dengan dasar kebhinnekaan yang mewanti-wanti umat Islam dalam sabda suci beliau menawarkan kehidupan damai yang mulia bagi kita semua bahwa “Perberbedaan Pendapat di kalangan umatku adalah rahmat”. Apabila mereka sepakat untuk saling menerima perbedaan yang dalam kerangka budaya bangsa Indonesia yang kita cinta bersama mengandung nilai persaudaraan berbangsa dan bernegara yang lebih dikenal dalam falsafah Pancasila, yaitu;  “Berbhinneka Tunggal Ika”. Dan pada prinsipnya, tentu akan berdampak  laknat manakala nilai rahmat ini kita tinggalkan tanpa arah yan jelas. Akan tetapi semata-mata karena dipicu gejolak tujuan semu karena arogansi hawa nafsu keagaman dan  dorongan kepentingan sesaat dari godaan ambisi kekuasaan. Pada akhirnya,  kita menyadari sepenuhnya betapa saat ini, peranan ulama sangat dibutuhkan dalam menata kehidupan yang tentram, damai menuju tatanan hidup berbangsa, dan bernegara, serta dalam mengawal agama sebagai “Way of Live”. Wallahu A’lam.





Mengenal Setitik Untaian
Percikan Jejak silam;
Sejarah Perkembangan Islam di Sulawesi Selatan

Syekh Yusuf Al-Maqassari adalah seorang ulama pada masanya yang dikenal kiprahnya berskala internasional pada abad ke-17. Beliau memainkan peranan sebagai tokoh penting dalam sejarah Islam di Nusantara. Beliau membantu kerajaan Banten ke garis terdepan dalam peperangan melawan Belanda setelah ditangkapnya Sultan Ageng Tirtayasa.
 
POTRET MASJID KATANGKA, GOWA
       mesjid tertua di Sulawesi Selatan




















AL-MARKAZ AL-ISLAMI MAKASSAR



Masjid Tertua
Ujung Lero
Kabupaten 
Pinrang











 






















 

















Mesjid Tua Jerra'e Allekkuang. Kabupaten Sidenreng Rappang


         Pada waktu Islam menjadi agama resmi  di beberapa kerajaan Bugis di Sulawesi Selatan sekitar abad ke-16. Secara berangsur-angsur, struktur pemerintahan digabungkan menjadi sistem pranata sara' kerajaan Bugis.
        Tercatat dalam sejarah, pada tahun 1611 La Tenrirua
Sultan Adam menduduki tahta kerajaan Bone, adalah raja Bugis paling awal memeluk agama Islam. Sultan Adam menerima Islam yang saat itu disampaikan oleh Raja Gowa, Imanuntungi Daeng Mattola Sultan Malikussaid (1605-1653) yang telah lebih dahulu memeluk agama Islam. Akan tetapi setelah raja Bone mengumumkan keIslamannya kepada rakyatnya, ternyata rakyat Bone menolak seruan beliau. Atas penolakan rakyatnya, beliau melepaskan tahta kedudukannya lalu pergi ke Pattiro, kemudian ke Gowa, Tallo, selanjutnya ke Bantaeng. Di Bantaeng beliau menetap sampai wafat di sana, sehingga beliau digelari Arumpone Matinroe ri Bantaeng.
           Proses penerimaan Islam di Bone, betapa tidak begitu mudah sebagaimana dengan penerimaan Islam di Kerajaan Soppeng dan Sidenreng (1609) dan Kerajaan Wajo. La Tenripale Toakkepeng lalu menjadi raja Bone ke-12, menggantikan Sultan Adam dengan masa pemerintahan yang berlangsung dari tahun 1611 sampai 1625. Selanjutnya digantikan oleh La Maddaremmeng Sultan Muhammad Shaleh bergelar Arung Timurung, Raja Bone ke-13. Beliau adalah raja yang sangat patuh pada nilai ajaran Islam yang dipeluknya. Beliau dengan teguh melakukan upaya penjabaran prinsip agama dalam membangun dan memajukan tatanan kehidupan rakyat yang dipimpinnya, bahkan beliau meminta agar kerajaan Bugis lainnya meniru keteladanannya.
            Sistem perbudakan ('ata) yang saat itu menjadi realitas di tengah masyarakatnya, khususnya dalam lingkungan pembesar kerajaan perlahan mulai dihapuskan. Beliau rupanya mendengarkan rintihan rakyatnya. Semenjak pemerintahan dipegangnya. Baginda dengan tegas memerintahkan agar ajaran Islam dijalankan semurni-murninya, dengan penegasan bahwa semua orang Islam adalah merdeka. Dengan perkataan lain, bahwa semua hamba sahaya yang ada dalam kerajaan Bone harus segera dimerdekakan, maka apabila seseorang dipekerjakan, sepatutnya mendapatkan nafkah berdasarkan prinsip pandangan martabat kemanusiaan.
   Di samping itu, beliau juga tegas memerintahkan pemberantasan terhadap prilaku-prilaku kesyirikan yang saat itu identik dengan kebiasaan dari warisan leluhur dan perbuatan syirik lainnya. Penerapan syari'at agama beliau kembangkan bukan hanya di kerajaan Bone, melainkan juga pada kerajaan-kerajaan tetangganya, seperti kerajaan Soppeng, Wajo, Sidenreng, Sawitto, dan lain-lain.
       Semenjak saat itu, pengembangan ajaran Islam di Sulawesi Selatan telah memberikan perubahan dan nuansa baru bagi kehidupan masyarakatnya. Perubahan yang terjadi memperkuat sistem tata nilai dan pola prilaku masyarakat Bugis sebelumnya. Termasuk budaya siri' (malu) diperkuat dengan konsep al-haya' dari tuntunan akhlak Islam. Begitu pula tentang nilai prilaku lainnya tetap diperkuat dengan pemahaman sesuai ajaran Islam. Kiranya tulisan ini, akan menjadi sumber inspirasi bagi para pemimpin di zaman modern saat ini untuk meniru keteladanan jasa-jasa warisan abadi dari para leluhur bangsa yang telah menorehkan tinta emas sejarah pengembangan dakwah Islam sejak dahulu kala. Sebagaimana leluhur Bugis mewariskan nilai-nilai sikap normatif tradisional dalam bentuk "Pappaseng Toriolo" (pesan leluhur) yang banyak memuat ajaran moral dan prinsip keteguhan serta memiliki hubungan dengan nilai pendekatan agama, akhlak dan ukhuwah. Wallahu a'lam.

2 komentar:

  1. Allah menciptakan manusia dari jenis keturunan berbagai suku dan bangsa di muka bumi, tentu semata-mata bertujuan agar mereka saling mengenal dan saling menghargai di antara sesama mereka.

    BalasHapus
  2. "Kita bangsa Indonesia adalah memiliki anugerah berupa jati diri yang beragama (Ketuhanan Yang Maha Esa), bangsa yang berbudaya (Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab), bangsa yang majemuk (Persatuan Indonesia), Bangsa yang bermartabat (Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmat/ Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan), bangsa yang adil (Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia)."

    BalasHapus