"Maka bersabarlah engkau, sesungguhnya janji Allah
itu benar. Meskipun kami perlihatkan kepadamu sebagian
azab yang Kami ancamkan kepada mereka, atau pun
Kami wafatkan engkau (sebelum ajal menimpa mereka),
namun kepada Kamilah mereka dikembalikan."
(QS. Gafir : 77)
SUMBER INSPIRASI
" Demi rombongan yang
bershaf-shaf, demi rombongan
yang mencegah sungguh-sungguh
demi (rombongan) yang membacakan peringatan.
Sungguh,Tuhanmu benar-benar Esa. Tuhan langit
dan bumi dan apa yang berada di antara
keduanya dan Tuhan tempat-tempat terbitnya matahari.
Sesungguhnya Kami telah menghiasi
langit dunia (yang terdekat), dengan hiasan bintang-bintang."
(QS. Ash-Shaffat : 1-6)
DOKUMENTASI BULETIN DAKWAH MEDIA ASH-SHAFFAT
BUMI SEMAKIN TERANCAM
Orientasi Kiamat dan Fitnah Akhir Zaman
Oleh : RIDWAN M, S. Ag
" Allah yang menurunkan kitab (Al-Qur'an) dengan (membawa)
kebenaran dan neraca (keadilan). Dan tahukah kamu,
boleh jadi hari kiamat itu sudah dekat ?"
(QS. Asy-Syura : 17)
Penerbit : BINA PENGABDIAN DAN KEPEDULIAN UMAT
DIMENSI KHAZANAH STUDI ISLAM ASH-SHAFFAT
DIMENSI KHAZANAH STUDI ISLAM ASH-SHAFFAT
Pembina : Drs. H. Abd. Hakim. Penasehat : H. Hading Wase, Lc, MA,
H. Mustari Tahir, S. PdI, Pelindung : Sulaeman Milla, S.Ag, MA.
Muh. Ridwan Kasim, S.Ag. Penanggung jawab : H. Abdullah Wahab, Lc.
Pimpinan Redaksi : Ridwan M, S.Ag.
Pimpinan Redaksi : Ridwan M, S.Ag.
PERCIKAN TANAH AIR
Hubungan
antara pandangan agama
dengan
pembangunan bangsa dan negara
Nabi Muhammad SAW terbukti telah
berhasil menata dan mengentaskan kebodohan kaum jahiliyah Quraisy dari alam
kegelapan menuju kepada cahaya kebenaran, dari lembah kebiadaban menuju ke
puncak peradaban, semua itu terwujud berkat sisi ajaran Islam yang visi penyampaiannya
merupakan format pengamalan akhlak yang mulia. Hingga saat ini, ruh kebenaran dan
sinar kemuliaan Islam telah menyebar ke berbagai penjuru dunia, bahkan sampai
di tiap-tiap pelosok bumi dari pedalaman, lembah dan pegunungan.
Bagaimana Islam dapat menyinari dan menaungi
seluruh kehidupan manusia? Tidak lain adalah karena ajaran Islam didirikan atas
prinsip keteguhan 5 dasar utama. Kelima dasar utama ini memberikan efek positif
bagi setiap orang Islam untuk mempertahankan keberadaannya sebagai makhluk
beragama yang menjaga nilai kehidupan sosial. Dengan melaksanakan prinsip dasar
utama ini, seseorang secara vertikal berhubungan langsung hubungan ibadah dengan
Allah dan memiliki hubungan harmonisasi secara horizontal dengan masyarakat.
Kelima dasar utama ini, selanjutnya disebut rukun Islam, yaitu:
1. Mengucapkan
dua kalimat syahadat
2. Mendirikan
Shalat
3. Menunaikan
Zakat
4. Berpuasa
di bulan suci Ramadhan
5. Naik
haji ke Baitullah bagi Yang mampu
Sabda Nabi Saw:
“Islam
itu dibangun atas dasar lima perkara; bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain
Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, mengeluarkan
zakat, berpuasa di bulan Ramadhan, serta pergi haji.” (HR. Bukhari, Muslim dan Ahmad)
Dengan tidak bermaksud untuk
menggurui, penulis menghubungkan ide utama terbentuknya Undang-Undang Dasar
1945 sebagaimana dituangkan dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang
mengakui tentang wujud proklamasi kemerdekaan Indonesia sebagai anugrah yang
terjadi atas berkat rahmat Allah disertai dorongan keinginan luhur dan cita-cita mulia dari beberapa pokok
pikiran para perintis atau pendiri bangsa yang melatarbelakangi dirumuskannya dasar Negara kita Pancasila, sehingga secara tidak
langsung jelas tidak terlepas dari prinsip dasar utama Islam atau rukun Islam.
Sebab mereka (para pendiri bangsa) umumnya merupakan tokoh masyarakat yang pada
masanya memiliki berbagai bekal wawasan pengetahuan, pemahaman dan pengamalan keagamaan
yang teguh. Refleksi yang
bisa dikaji secara Islami dengan
pemahaman terbuka terhadap; Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa.
Sejalan dengan rukun Islam pertama, Mengucapkan dua kalimat syahadat. Sila kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab,
semakna dengan mendirikan Shalat. Sila ketiga, Persatuan Indonesia, Seiring dengan menunaikan Zakat, Sila Keempat,
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan, sangat berhubungan
erat dengan hikmah pelaksanaan yakni; Berpuasa di bulan Ramadhan, Sila Kelima, Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia, berkaitan dengan Naik haji bagi yang mampu.
Untuk lebih jelasnya, penulis mencoba
menguraikan penjelasan bahwa; dasar
pertama Pancasila yakni sila Ketuhanan Yang Maha Esa tentu sangat sejalan
dengan rukun Islam mengucapkan syahadat sebagai kesaksian masyarakat Indonesia
tentang adanya Tuhan yang satu, tempat kita bermohon dengan penuh
ketergantungan dalam menjalani kehidupan ini. Meskipun, pada hakikatnya sesuai
kenyataan di negara kita ini, agama Islam sebagai agama mayoritas yang dipeluk
oleh rakyat, tetapi kita harus mengakui bahwa di antara rakyat Indonesia
terdapat sebagian lainnya yang menganut
agama dan kepercayaan yang berbeda.
Karena itu, semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” begitu ampuh
telah mempersatukan kita semua sebagai saudara se-bangsa dan se-tanah air. Sehingga,
sila pertama dalam piagam Jakarta yang
rumusan awalnya bersambung kalimat dengan kewajiban melaksanakan syari’at Islam
bagi para penganutnya, kemudian harus direvisi secara bijaksana demi
memelihara persatuan dan keutuhan bangsa secara umum, sebagaimana diketahui
bersama bahwa Islam tidak membenarkan
adanya pemaksaan dalam agama.
Selanjutnya, Sila Kedua, Kemanusiaan
yang Adil dan beradab sangat berkaitan dengan rukun Islam kedua mendirikan
Shalat, di mana kita menyadari bahwa manusia sebagai makhluk Tuhan yang adil dan beradab kita wajib
menyembah-Nya. Di dalam ibadah shalat yang ditunjukkan adab pengagungan Tuhan
dengan Takbir, dan diakhiri dengan
ucapan salam yang bermakna kewajiban memelihara adab bermasyarakat penuh ketulusan
menjabarkan keselamatan kepada sesama manusia secara adil.
Untuk Sila Ketiga, Persatuan
Indonesia, jika dikaitkan dengan rukun Islam ketiga; yakni menunaikan zakat,
bahwa zakat bertujuan mempersatukan
antara rakyat yang kaya dengan rakyat yang kebetulan hidup menderita dalam kemiskinan
karena nasibnya kurang beruntung. Sehingga, di dalam masyarakat tercipta
prilaku luhur untuk saling berbagi dan memelihara nilai persaudaraan yang akrab
dalam prinsip hidup senasib dan sepenanggungan, untuk bersatu padu mengisi
kemerdekaan dengan semangat bergotong-royong membangun bangsa yang kita cintai
bersama.
Sila Keempat, Kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyarawatan/perwakilan, kaitannya
dengan rukun Islam keempat berpuasa di bulan Ramadhan bermakna luas sebagaimana
yang kita ketahui bahwa puasa ramadhan bertujuan untuk melatih pengendalian
diri sehingga terbentuk watak kebijaksanaan, yang pada hakikatnya melalui jalan
musyawarah dan mufakat dari beberapa utusan perwakilan yang dipilih oleh
rakyat, termasuk orang pilihan yang bijaksana maka memungkinkan terbentuk
pelaksanaan kepemimpinan negara sesuai dengan harapan seluruh rakyat Indonesia.
Demikian pula, termasuk sila Kelima, Keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, yang berkaitan erat dengan rukun Islam
kelima, naik haji bagi yang mampu yakni perlunya tercipta kesejahteraan hidup
yang adil dan merata agar dapat terwujud kehidupan masyarakat makmur dan tentram. Jadi, apabila kesejahteraan bagi rakyat telah merata, maka
seluruh lapisan masyarakat memiliki kemampuan material yang terpenuhi untuk
mampu melaksanakan peningkatan pendekatan spiritual dengan menunaikan ibadah
Haji, yang pada akhirnya terwujud keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dengan demikian, tentu sangat
menyedihkan jika konsep syari’at Islam dianggap bertentangan dengan nilai-nilai
Pancasila. Justru, penegakan syari’at yang benar tentu dimulai dari refleksi
sikap kepribadian hidup bersama kesadaran ber-masyarakat, ber-bangsa dan ber-negara,
yang dilaksanakan dengan tulus, baik sebagai individu maupun sebagai kelompok,
tentu se-iring dan se-jalan dengan cita-cita besar Pancasila sebagai
Ideologi Negara serta Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945. Semoga hal ini, menjadi bahagian inspirasi dari sepercik
perenungan nuansa pemikiran kita semua, sehingga seluruh komponen bangsa turut
bersama mengambil peranan mulia demi cita-cita proklamasi kemerkaan bangsa
Indonesia, termasuk mayoritas umat Islam untuk dapat memahami dan menerima
Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa, yang merupakan pancaran nilai luhur
yang akan tetap dipertahankan menjadi
jati diri bangsa yang abadi, karena pada hakikatnya ternyata tidak bertentangan
prinsip dasar rukun Islam. Wallahu a’lam.
Mengenal dan Menelusuri
Citra
Kebangsaan dan Keindonesiaan
Indonesia adalah sebuah kata yang kalau
penulis tidak keliru, dipopulerkan oleh Adolf Bastian, seorang yang
berkebangsaan Belanda. Selanjutnya menjadi bahan perbincangan menarik bagi para
putra pribumi yang menuntut ilmu pengetahuan pada zaman penjajahan Belanda waktu
itu. Setelah putra-putra terbaik bangsa ini, kembali ke tanah airnya. Beliau
serta-merta timbul rasa kebangsaannya, lalu terbuka pikirannya untuk bangkit
berjuang akibat terharu melihat nasib tanah leluhurnya yang telah takluk merana
tak berdaya di bawah penindasan penjajah Belanda. Betapa tragis sebagai putra
pribumi, mereka merasakan penderitaan bangsanya yang selama lebih tiga ratus tahun hidup di bawah tekanan
penjajah.
Begitulah, sehingga kemudian
dibentuk organisasi kepemudaan pertama yang bernama Budi Utomo, pada tahun 1908
oleh Bapak Dr. Sutomo. Kemungkinan Budi Utomo ini dimotivasi keinginan untuk
membangun Indonesia dengan membentuk sikap patriotik pemuda agar memiliki budi
pekerti yang utama demi membangun karakter para pemuda saat itu. Kisah
ringkasnya, gema kebangkitan nasional mulai terkuak dengan lahirnya berbagai
organisasi kepemudaan yang bersifat lokal kedaerahan di beberapa pulau di
nusantara. Perjuangan pergerakan pembabasan dari penindasan penjajah terus
berlanjut dengan pengorbanan jiwa-raga, harta dan air mata. Pada tahun 1928,
bermunculan ide untuk mengenang kembali sejarah kejayaan sumpah palapa yang
pernah menjadi ikrar Kebesaran Mahapatih
Gajah Mada dalam perjuangan beliau mempersatukan kepulauan nusantara di bawah
kekuasaan kerajaan Majapahit.
Para
pemuda dari berbagai suku dengan latar belakang budaya serta adat istiadat dan
agama, selanjutnya pada tanggal 28 Oktober 1928, berbagai organisasi kepemudaan yang masih
bersifat lokal, sepakat mengadakan deklarasi kebulatan tekad bersatu dalam
ikrar kebangkitan nasional yang dikenal dengan Sumpah Pemuda. Di dalam perjalanan perjuangan pembebasan
bangsa dari penindasan penjajahan,
mendapat tantangan berat yang dipikul oleh para perintis, pelopor dan
pendiri bangsa ini dengan pengorbanan jiwa dan raga, sampai kepada kemerdekaan
yang kita nikmati sekarang ini sebagai anugrah Ilahi yang dipersembahkan oleh
para pahlawan dan gugur bertabur bunga kusuma bangsa di tanah tumpah darah
Indonesia.
Selanjutnya, kita kembali untuk
membahas kata Indonesia, yang sudah tidak asing lagi bagi kita. Untuk
itu, penulis sejenak membawa kita
berpetualang menelusurinya dengan terjemahan bebas tapi dibatasi oleh
dugaan nalar semata, bahwa ada kemungkinan nama Indonesia yang bersama kita
cinta ini. Tidak terlepas dari sejarah di mana sejak dahulu, nusantara dikenal
sebagai “Zamrud Khatulistiwa” surganya hasil bumi termasuk
rempah-rempah, dan berbagai kekayaan alam di dalamnya, sehingga menjadi tujuan
perburuan bagi bangsa penjajah untuk memperebutkannya.
Konon,
di kalangan penjelajah bumi sejak dahulu kala. India menjadi sasaran
pengembaraan mereka karena tergiur dengan kisah yang dibicarakan tentang adanya
sebuah tempat yang memiliki ciri khas budaya unik dengan kemolekan
wanita-wanita cantik yang menggiurkan syahwat kelelakian akibat pesona
busananya yang transparan bagaikan bidadari. Demikian menariknya sehingga di
mata petualang bumi pada waktu itu, india menjadi tempat incaran. Ketika,
Kolombus berhasil menemukan benua
Amerika. Ia menduga bahwa suku Apache itulah kemungkinan suku India yang mereka
pernah didengar dari kisah turun-temurun para leluhurnya, sehingga ia kemudian
menyebutnya Indian.
Bukan tidak mustahil, dengan kekayaan alam yang melimpah dari hasil
bumi nusantara, menjadi inspirasi para penjajah Belanda sehingga menyebut
negeri subur ini dengan nama wilayah
otoritas pemerintahan Hindia Belanda. Konotasi kata inilah
yang selanjutnya menjadi sebutan Indonesia bagi seorang Adolf Bastian. Ungkapan
nama Indonesia, kemungkinan nama lain Nusantara.
Apabila kita rangkum dalam penjelasan bebas dalam batasan nalar
penulis, yakni Nusa artinya kepulauan dan antara artinya batas wilayah, berarti kumpulan berbagai pulau yang
berserakan di antara batas wilayah benua Asia dan Australia. Sementara, nama Indonesia bermakna sama namun memiliki
spesialisasi tersendiri bagi bangsa Belanda pada arogansi kekuasaannya, yang
mengklaim secara otonomi Indonesia sebagai India di Asia Tenggara, apalagi
agama yang dianut leluhur kita waktu itu, memang mayoritas hindu dan budha yang
berasal dari India. Jadi, tidak ada salahnya kita tetap bangga sebagai bangsa
Indonesia, karena bangsa besar ini merupakan kebanggaan bersama.
Masalahnya, yang paling mendasar saat ini adalah terkikisnya nilai-nilai keindonesiaan dan mulai terasa akibat kembalinya nilai-nilai kedaerahan merasuk pada pikiran-pikiran anak bangsa yang terjadi karena adanya ambisi arogansi kekuasaan dan tipologi kesukuan yang dibesar-besarkan sehingga bisa memicu keretakan nilai kehidupan berbangsa dan bernegara, terkadang keluar dari tatanan luhur nilai kebhinnekaan. Demikian pula terjadinya konflik perkelahian kelompok saat ini, bukan tidak mungkin muncul karena nilai-nilai kebhinnekaan tersebut mulai bergeser, bahkan sampai isu seputar hakikat keagamaan dalam hal ini; sebagian kelompok ekstrim Islam dengan arogansi jihad mereka, membuat masyarakat umum tidak merasa aman dengan perjuangan ekstrim dari para terorisme.
Padahal, jika Allah SWT berkenan memberikan hidayah kepada kita umat Islam. Tentu kita bangsa Indonesia meyakini, bahwa pancasila sebagai sumber inspirasi berbangsa dan bernegara adalah merupakan pancaran manifestasi keteguhan keyakinan dari para pendahulu kita yang menuangkannya sebagai pedoman penghayatan dan pengamalan nilai-nilai dasar utama dalam agama, yakni rukun Islam. Bukankah Islam yang telah diantarkan Nabi Muhammad saw, merupakan misi abadi yang bergema dengan panji “Rahmat bagi Semesta Alam” Beliau pun (Nabi SAW) berpesan dengan dasar kebhinnekaan yang mewanti-wanti umat Islam dalam sabda suci beliau menawarkan kehidupan damai yang mulia bagi kita semua bahwa “Perberbedaan Pendapat di kalangan umatku adalah rahmat”. Apabila mereka sepakat untuk saling menerima perbedaan yang dalam kerangka budaya bangsa Indonesia yang kita cinta bersama mengandung nilai persaudaraan berbangsa dan bernegara yang lebih dikenal dalam falsafah Pancasila, yaitu; “Berbhinneka Tunggal Ika”. Dan pada prinsipnya, tentu akan berdampak laknat manakala nilai rahmat ini kita tinggalkan tanpa arah yan jelas. Akan tetapi semata-mata karena dipicu gejolak tujuan semu karena arogansi hawa nafsu keagaman dan dorongan kepentingan sesaat dari godaan ambisi kekuasaan. Pada akhirnya, kita menyadari sepenuhnya betapa saat ini, peranan ulama sangat dibutuhkan dalam menata kehidupan yang tentram, damai menuju tatanan hidup berbangsa, dan bernegara, serta dalam mengawal agama sebagai “Way of Live”. Wallahu A’lam.
Percikan Jejak silam;
Sejarah Perkembangan Islam di Sulawesi Selatan
Syekh Yusuf Al-Maqassari adalah seorang ulama pada masanya yang dikenal kiprahnya berskala internasional pada abad ke-17. Beliau memainkan peranan sebagai tokoh penting dalam sejarah Islam di Nusantara. Beliau membantu kerajaan Banten ke garis terdepan dalam peperangan melawan Belanda setelah ditangkapnya Sultan Ageng Tirtayasa.
mesjid tertua di Sulawesi Selatan
AL-MARKAZ AL-ISLAMI MAKASSAR
Masjid Tertua
Ujung Lero
Kabupaten
Pinrang
Pada waktu Islam menjadi agama resmi di beberapa kerajaan Bugis di Sulawesi Selatan sekitar abad ke-16. Secara berangsur-angsur, struktur pemerintahan digabungkan menjadi sistem pranata sara' kerajaan Bugis.
Tercatat dalam sejarah, pada tahun 1611 La Tenrirua
Sultan Adam menduduki tahta kerajaan Bone, adalah raja Bugis paling awal memeluk agama Islam. Sultan Adam menerima Islam yang saat itu disampaikan oleh Raja Gowa, Imanuntungi Daeng Mattola Sultan Malikussaid (1605-1653) yang telah lebih dahulu memeluk agama Islam. Akan tetapi setelah raja Bone mengumumkan keIslamannya kepada rakyatnya, ternyata rakyat Bone menolak seruan beliau. Atas penolakan rakyatnya, beliau melepaskan tahta kedudukannya lalu pergi ke Pattiro, kemudian ke Gowa, Tallo, selanjutnya ke Bantaeng. Di Bantaeng beliau menetap sampai wafat di sana, sehingga beliau digelari Arumpone Matinroe ri Bantaeng.
Proses penerimaan Islam di Bone, betapa tidak begitu mudah sebagaimana dengan penerimaan Islam di Kerajaan Soppeng dan Sidenreng (1609) dan Kerajaan Wajo. La Tenripale Toakkepeng lalu menjadi raja Bone ke-12, menggantikan Sultan Adam dengan masa pemerintahan yang berlangsung dari tahun 1611 sampai 1625. Selanjutnya digantikan oleh La Maddaremmeng Sultan Muhammad Shaleh bergelar Arung Timurung, Raja Bone ke-13. Beliau adalah raja yang sangat patuh pada nilai ajaran Islam yang dipeluknya. Beliau dengan teguh melakukan upaya penjabaran prinsip agama dalam membangun dan memajukan tatanan kehidupan rakyat yang dipimpinnya, bahkan beliau meminta agar kerajaan Bugis lainnya meniru keteladanannya.
Sistem perbudakan ('ata) yang saat itu menjadi realitas di tengah masyarakatnya, khususnya dalam lingkungan pembesar kerajaan perlahan mulai dihapuskan. Beliau rupanya mendengarkan rintihan rakyatnya. Semenjak pemerintahan dipegangnya. Baginda dengan tegas memerintahkan agar ajaran Islam dijalankan semurni-murninya, dengan penegasan bahwa semua orang Islam adalah merdeka. Dengan perkataan lain, bahwa semua hamba sahaya yang ada dalam kerajaan Bone harus segera dimerdekakan, maka apabila seseorang dipekerjakan, sepatutnya mendapatkan nafkah berdasarkan prinsip pandangan martabat kemanusiaan.
Proses penerimaan Islam di Bone, betapa tidak begitu mudah sebagaimana dengan penerimaan Islam di Kerajaan Soppeng dan Sidenreng (1609) dan Kerajaan Wajo. La Tenripale Toakkepeng lalu menjadi raja Bone ke-12, menggantikan Sultan Adam dengan masa pemerintahan yang berlangsung dari tahun 1611 sampai 1625. Selanjutnya digantikan oleh La Maddaremmeng Sultan Muhammad Shaleh bergelar Arung Timurung, Raja Bone ke-13. Beliau adalah raja yang sangat patuh pada nilai ajaran Islam yang dipeluknya. Beliau dengan teguh melakukan upaya penjabaran prinsip agama dalam membangun dan memajukan tatanan kehidupan rakyat yang dipimpinnya, bahkan beliau meminta agar kerajaan Bugis lainnya meniru keteladanannya.
Sistem perbudakan ('ata) yang saat itu menjadi realitas di tengah masyarakatnya, khususnya dalam lingkungan pembesar kerajaan perlahan mulai dihapuskan. Beliau rupanya mendengarkan rintihan rakyatnya. Semenjak pemerintahan dipegangnya. Baginda dengan tegas memerintahkan agar ajaran Islam dijalankan semurni-murninya, dengan penegasan bahwa semua orang Islam adalah merdeka. Dengan perkataan lain, bahwa semua hamba sahaya yang ada dalam kerajaan Bone harus segera dimerdekakan, maka apabila seseorang dipekerjakan, sepatutnya mendapatkan nafkah berdasarkan prinsip pandangan martabat kemanusiaan.
Di samping itu, beliau juga tegas memerintahkan pemberantasan terhadap prilaku-prilaku kesyirikan yang saat itu identik dengan kebiasaan dari warisan leluhur dan perbuatan syirik lainnya. Penerapan syari'at agama beliau kembangkan bukan hanya di kerajaan Bone, melainkan juga pada kerajaan-kerajaan tetangganya, seperti kerajaan Soppeng, Wajo, Sidenreng, Sawitto, dan lain-lain.
Semenjak saat itu, pengembangan ajaran Islam di Sulawesi Selatan telah memberikan perubahan dan nuansa baru bagi kehidupan masyarakatnya. Perubahan yang terjadi memperkuat sistem tata nilai dan pola prilaku masyarakat Bugis sebelumnya. Termasuk budaya siri' (malu) diperkuat dengan konsep al-haya' dari tuntunan akhlak Islam. Begitu pula tentang nilai prilaku lainnya tetap diperkuat dengan pemahaman sesuai ajaran Islam. Kiranya tulisan ini, akan menjadi sumber inspirasi bagi para pemimpin di zaman modern saat ini untuk meniru keteladanan jasa-jasa warisan abadi dari para leluhur bangsa yang telah menorehkan tinta emas sejarah pengembangan dakwah Islam sejak dahulu kala. Sebagaimana leluhur Bugis mewariskan nilai-nilai sikap normatif tradisional dalam bentuk "Pappaseng Toriolo" (pesan leluhur) yang banyak memuat ajaran moral dan prinsip keteguhan serta memiliki hubungan dengan nilai pendekatan agama, akhlak dan ukhuwah. Wallahu a'lam.




























Allah menciptakan manusia dari jenis keturunan berbagai suku dan bangsa di muka bumi, tentu semata-mata bertujuan agar mereka saling mengenal dan saling menghargai di antara sesama mereka.
BalasHapus"Kita bangsa Indonesia adalah memiliki anugerah berupa jati diri yang beragama (Ketuhanan Yang Maha Esa), bangsa yang berbudaya (Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab), bangsa yang majemuk (Persatuan Indonesia), Bangsa yang bermartabat (Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmat/ Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan), bangsa yang adil (Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia)."
BalasHapus