“Jikalau Tuhanmu menghendaki tentu Dia (Allah) menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka (manusia) senantiasa berselisih pendapat,” (QS. Hud: 118)
Islam sebagai agama rahmat bagi semesta
alam, seharusnya dipahami dengan menghayati berbagai makna kehidupan dalam skala
universal (kaffah) dari kajian secara luas yang mencakup segala sisi perbedaan
suku dan budaya antara berbagai bangsa di seluruh dunia, agar saling mengenal
dan menggalang tegaknya kekuatan Aqidah dan Syari’ah. Jadi, tidak berarti bahwa
ajaran Islam secara mutlak mengharuskan semua suku bangsa di seluruh dunia
untuk melebur diri beralih tradisi global timur tengah dan berciri khas budaya Arab seutuhnya. Jelas,
tidaklah demikian penjabarannya dalam tuntunan agama, sekalipun bahasa Arab
perlu kita pelajari agar kita lebih mengenal Islam secara mendalam.
Target arah keselamatan abadi yang ditawarkan
Al-Qur’an yakni mengutamakan hidayah tanpa pilih kasih baik bagi bangsa Arab
maupun bangsa Ajam (selain Arab). Sebagaimana dijelaskan dalam firman-Nya: “Dan sekiranya Al-Qur’an Kami (Allah dan
Malaikat Jibril) jadikan sebagai bacaan dalam bahasa selain bahasa Arab (Ajam),
niscaya mereka (bangsa Arab) mengatakan (protes) ‘mengapa tidak dijelaskan
ayat-ayatnya?’ (mereka berkata pula) ‘Apakah patut (Al-Qur’an diturunkan) dalam
bahasa selain bahasa Arab sedangkan (Raslullah SAW) orang Arab? Katakanlah,
‘Al-Qur’an adalah petunjuk dan penyembuh bagi orang-orang yang beriman. Dan
orang-orang kafir (tidak beriman kepada Allah) mereka tidak dapat mendengar
(Al-Qur’an) dan merupakan kegelapan bagi mereka. Mereka itu seperti orang-orang
yang dipanggil dari tempat yang jauh (tuli sekalipun mereka berasal dari Arab).” (QS. Fushsilat: 44)
Berdasarkan penjelasan ayat
di atas, dapat dipahami bahwa hidayah diturunkan Allah tanpa pilih kasih kepada
siapa pun hamba-Nya yang dikehendaki. Maka tidak ada jaminan suatu bangsa
mendapat hidayah secara mutlak bahkan sekalipun ia keturunan dari bangsa Arab.
Karena itu, hidayah yang diterima kapasitasnya tidak sama jadi otomatis
perbedaan pendapat sudah menjadi sunnatullah.
Sebagaimana Al-Qur’an menjelaskan: “Sungguh
kalian benar-benar dalam keadaan berbeda-beda pendapat, dipalingkan darinya
(Al-Qur’an) bagi orang yang dipalingkan. Terkutuklah orang-orang yang banyak
berdusta, yaitu orang-orang yang terbenam dalam kebodohan (jahiliyah abad
modern) dan kelalaian (kefasikan).” (QS.
Adz-Dzariyat: 8-11)
Munculnya banyak kelompok (firqah
Dakwah) akhir-akhir ini ternyata
meresahkan sebagian besar umat Islam. Dampaknya tentu sangat berbahaya
bagi keutuhan dan kedamaian jama’ah kaum muslimin seluruhnya. Perbedaan
pendapat (ikhtilaf) seharusnya dapat diterima dengan lapang dada, karena merupakan
suatu keniscayaan. Bukankah pandangan
dan pemikiran yang berbeda-beda sejak dulu sudah terjadi, baik semasa
Rasulullah SAW masih hidup maupun di zaman khulafaurrasydin, bahkan mungkin
sampai hari kiamat tidak dapat diselesaikan kecuali dengan kebesaran jiwa sebab
bagaimana pun kita mestinya saling memahami atau setuju dalam ketidaksetujuan
terhadap berbagai hal yang bersifat khusus demi suatu tujuan dan kepentingan
yang berbeda, termasuk beberapa pandangan atau pendapat.
Terbentuknya suatu organisasi atau kelembagaan
dakwah yang berkelompok-kelompok pada prinsipnya adalah untuk motivasi beramal
shaleh dan bertujuan memudahkan pembinaan dan pengeloaan jamaah secara internal yang berkesinambungan. Sehingga, dendam persaingan untuk kepentingan visi
sesaat antara kelompok dapat diredam, sebab tentunya misi abadi dunia dan
akhirat kita tetap sama; yakni menegakkan pilar jamaah kaum muslimin yang memiliki
solidaritas persatuan dalam memenangkan Islam di atas segala agama.
Barangkali sudah saatnya, orang-orang yang
mengaku beriman kepada Allah, perlu menghidari pengaruh arogansi hawa nafsu mereka
sebagai sarana tipu daya Iblis dan godaan setan untuk mencerai-beraikan manusia
agar tersesat dari jalan hidayah. Sebagaimana
Allah SWT memperingatkan dalam firman-Nya: “Sesungguhnya
orang-orang yang memperdebatkan ayat-ayat Allah sesudah sampai kepada mereka
bukti (keterangan nyata dari penjelasan Al-Qur’an), sedang yang ada dalam
dadanya hanyalah keinginan akan kebesaran (keangkuhan dan kesombongan beragama)
yang tidak mereka capai, maka mintalah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya
Dia (Allah) Maha Mendengar lagi Maha
Melihat.” (QS. Al-Mukmin: 56)
Demikianlah sketsa transparansi masalah,
sekedar bunga rampai urgensi sekelumit problematika umat Islam dalam kehidupan
modern babak penghabisan, di akhir zaman ini. Kita berharap, semoga Allah
secepatnya turun tangan untuk terus-menerus memberikan pertolongan hidayah-Nya
berupa kesadaran moril kepada kaum muslimin di seluruh dunia, agar lebih
mewaspadai bahaya perpecahan umat Islam akibat propokasi sepihak dari beberapa kelompok
ekstrim jamaah untuk tega tidak mungkin lagi membuka diri dengan membangun
ukhuwah antara berbagai organisasi kelembagaan dakwah secara tulus, sehingga bisa
berpotensi memicu konflik dari kesatuan tatanan realitas beragama dalam
kehidupan masyarakat secara keseluruhan (kaffah). Naudzubillah min dzalik.
Akhirnya, kepada kaum muslimin di mana
pun anda berada, mari kita membuka komunikasi saling menghargai dengan saudara
seiman dan sekeyakinan yang berbeda pandangan dengan kita. Bukankah ajaran
Islam adalah manifestasi kedamaian dan rahmat bagi semesta alam.
Hasbunallah wani’mal Wakil ni’mal maula wani’man Nashir. Wallahu A’lam.
Penulis: Ridwan M, S.Ag
General Manager Divisi FORMAT Monitoring Dakwah Eksekutif
Indonesia. Kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan.

hanya dengan isinya namanya islam wadahnya namanya islam caranya cara islam itu akan diterima di seluruh dunia kalau isinya islam wadhnya namanya sholat pasti tidak diterima maka isi wadah dan cara namanya harus ISLAM seperti QS Al Maidah ayat 3 dst .
BalasHapus