Muraqabah artinya adanya pengawasan atau terjadinya pengintaian. Ibnu Mubarak berkata, "Hendaknya engkau bermuraqabah kepada Allah Ta'ala". Seseorang bertanya tentang arti muraqabah lalu Ibnu Mubarak menjelaskan, "Jadilah kamu selama-lamanya seakan-akan melihat Allah Azza wa Jalla."
Sikap yang demikianlah yang akan menjadikan diri kita dapat terhindar dari perbuatan maksiat dan keingkaran. Akan tetapi tentu tidak semua orang mampu menggunakan hatinya untuk melihat Allah. Dengan demikian, maka setidaknya ada keyakinan kuat dalam hati. Bahwa Allah SWT tidak sekejap pun lengah melihat atau mengintai segala perbuatan hamba-Nya.
Al-Qur'an menerangkan : "Tidakkah dia mengetahui bahwa sesungguhnya Allah melihat segala yang diperbuatnya". (QS. Al-'Alaq: 14)."...Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi." (QS. An-Nisa': 1)
Begitulah pemahaman Ulama-Ulama terdahulu sehingga beliau sangat berhati hati dalam melakukan suatu perbuatan. Mereka meyakini kalau setiap tarikan nafas dan kejapan mata tidak pernah terlepas dari pengintaian Allah. Abdul Wahid bin Zaid berkata, "Apabila Tuhanku selalu mengawasiku, maka aku tidak perduli terhadap selain-Nya."
Begitulah pemahaman Ulama-Ulama terdahulu sehingga beliau sangat berhati hati dalam melakukan suatu perbuatan. Mereka meyakini kalau setiap tarikan nafas dan kejapan mata tidak pernah terlepas dari pengintaian Allah. Abdul Wahid bin Zaid berkata, "Apabila Tuhanku selalu mengawasiku, maka aku tidak perduli terhadap selain-Nya."
Abu Hafidh berpesan kepada al-Jariri demikian, "Jika kamu berada di tengah-tengah umat, maka jadilah penasehat yang baik bagi dirimu dan hatimu sendiri. jangan sampai enkau terbujuk oleh umat yang mendukungmu. Sesungguhnya mereka mengawasimu secara lahiriah, sedangkan Allah mengawasi hatimu."
Merasa selalu diawasi, itulah konsep yang harus diterapkan dalam menapaki kehidupan ini. Sesungguhnya yang mengawasi itu terlebih dahulu melihat daripada kita melihatnya. Pengawasan Allah itu terlebih dahulu mengintai kepada gerak lahir dan gerak batin hamba-hamba-Nya. Jika setiap kita hendak mengambil keputusan, lalu akal memperingatkan bahwa setiap saat ada Dzat Yang Maha Mengawasi terhadap pelaksanaan keputusan itu, tentu kita lebih berhati-hati. Umpama, sekiranya nafsu syahwat seseorang lebih kuat mendorong untuk lebih kuat mendorong untuk lebih
ANTARA KALBU DAN NAFSU
Kegelapan adalah munculnya di dalam
hati sifat buruk dan tercela, seperti syirik, riya’, sombong, ujub,
berlebih-lebihan dalam mencintai dunia, dan lain-lain. Itulah kegelapan yang
berasl dari nafsu. Bila kita biarkan sifat-sifat itu bercokol di dalam hati,
maka nafsu akan semakin kuat mencengkram diri kita sehingga menjadi prilaku dan
kebiasaan yang sukar diperbaiki.
Adapun cahaya muncul dari petunjuk
Ilahi di dalam hati dan menyinari relung kalbu, hal itu terjadi disebabkan
karena upaya dengan penuh kesadaran untuk senantiasa memelihara keimanan,
tauhid yang benar, keikhlasan, qana’ah dan sebagainya. Jika suasana hati selalu
dihiasi dengan sifat-sifat terpuji, maka tentu akan memberikan pengaruh positif
dalam prilaku seseorang.
Dengan demikian, cahaya Ilahi dapat
memutuskan hubungan antara kalbu dan nafsu. Sehingga, seseorang tidak lagi memiliki rasa khawatir dan buruk
sangka kepada Allah. Bila hati telah mendapat cahaya Ilahi, tentu ia dapat
memandang mana yang baik dan mana yang buruk maka ia akan bersikap bijaksana
atau arif (ma’rifat). Karena hati adalah pusat inspirasi, tempat bersemayamnya
keyakinan, tempat iman dan Tauhid, pembuka tabir menuju pendekatan kepada Sang
Khalik. Sedangkan hawa nafsu adalah tempat bayang-bayang godaan Iblis
laknatullah.
Menghindari Sifat Ujub
dan
Merasa Diri Suci
Hendaknya kita kita waspada
terhadap sikap ujub dan waspada dari menganggap diri telah suci. Yakni klaim
atau anggapan bahwa kita telah mendapatkan kesucian dan kesempurnaan jiwa.
Sebagaimana Allah SWT menegaskan dalam firman-Nya: “Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dia-lah yang paling
mengetahui tentang orang yang bertakwa.” (QS. An-Najm: 32).
Seorang mukmin yang hakiki, sekuat apa
pun kesungguhannya dalam melakukan amal shaleh dan menjauhi perkara yang haram,
tetap dia akan terus melihat dirinya sebagai orang yang banyak kekurangannya,
dan merasa takut jikalau tidak diterima amalnya. Allah SWT berfirman :
“Dan orang-orang yang memberikan apa yang
telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa)
sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka.”
(QS.Al-Mukminun: 60)
Ummul Mukminun, Aisyah ra. Pernah bertanya kepada Nabi saw tentang ayat ini, dengan mengatakan, “Apakah yang dimaksud adalah orang-orang
yang meminum khamr dan mencuri (sehingga mereka takut akan disiksa)?”
Maka Nabi saw bersabda: “Tidak
wahai putrid as-Shiddiq (Abu Bakar), akan tetapi mereka adalah orang-orang yang
berpuasa, shalat, dan bersedekah, sedang mereka khawatir amalan mereka tidak
diterima. Mereka adalah orang-orang yang bersegera dalam kebaikan”.
Karena
itu, al-Hasan al-Bashri rahimahullah menjelaskan, “Seorang mukmin menggabungkan antara perbuatan baiknya dengan rasa
takut. Sedangkan orang yang munafik menggabungkan antara perbuatan buruknya
dengan rasa aman (dari siksa)”.
Abdullah
bin Abi Mulaikah, salah seorang tabi’in berkata, “Aku bertemu dengan lebih dari
tiga puluh orang sahabat, semuanya mengkhawatirkan kemunafikan atas dirinya”.
Akhirnya, kita memohon kepada Allah SWT agar memberikan hidayah kepada kita
semua, dan menunjukkan kepada kita jalan-Nya yang lurus, Amin.



Tidak ada komentar:
Posting Komentar