Rabu, 17 Juli 2013

INSPIRASI DAKWAH NABAWIYAH



BERANDA


      















PERAN ULAMA 
SEBAGAI PEWARIS KENABIAN 



        Ulama  adalah mereka  yang tidak memiliki keraguan sedikit pun bahwa Al-Qur'an turun dari Allah melalui malaikat Jibril, dan diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dalam bahasa Arab. Juga meyakini sebagai rangkuman kitab-kitab sebelumnya. Selanjutnya ia mempelajari, memahami dan mengamalkan secara konsisten ilmu-ilmu yang terkandung di dalamnya. Setelah itu, ia berkewajiban memberi peringatan, dan mengajarkan Al-Qur'an kepada keluarga dan kerabat dekat, dan memasyarakatkannya pada lingkup sosial yang lebih luas lagi.
        Adapun sifat-sifat ulama di antaranya, bersikap rendah hati terhadap orang-orang beriman yang mengikutinya, serta bersikap lemah-lembut terhadap orang-orang yang menentangnya sembari mengatakan; "Sesungguhnya aku tidak bertanggungjawab terhadap apa yang kamu kerjakan" (QS. Asy-Syu'ara: 216). Selebihnya, Ulama selalu bertawakkal kepada Allah dalam segala kondisi. Serta senantiasa menyadari akan kemaha-hadiran Allah dalam segala prilaku kehidupan, termasuk dalam ibadah zhahiriyyah maupun bathiniyyah.
    Berdasarkan kriteria tersebut, maka selanjutnya Allah menegaskan tentang citra ulama di antara seluruh mahluk hidup yang ada, sebagai berikut: "Dan di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam (jenisnya). Sesungguhnya yang (sangat) takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah para ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun". (QS. Fathir: 28)
    Pada ayat sebelumnya, Allah menjelaskan berbagai fenomena akan alam semesta yang kasat mata dan dapat dipelajari oleh akal manusia dengan nalar ilmiah. Sehingga dengan kedalaman pengetahuan yang dimilikinya, ia semakin menyadari akan kebesaran dan kekuasaan Allah. Dengan prinsip inilah, sehingga ulama mendapat derajat termulia di sisi Allah dari segala makhluk-Nya.    
        Barangkali timbul pertanyaan mengapa "Takut" menjadi parameter yang begitu penting bagi Allah tentang citra ulama, memiliki kedudukan tertinggi di antara para makhluk? Allah menjadikan perasaan takut sebagai kewajiban bagi hamba-hamba-Nya berdasarkan firman-Nya; "maka takutlah kepada-Ku jika kamu (benar-benar) orang yang beriman." (QS. An-Nahl: 51)
      Dengan dasar seperti itulah, maka layak jika predikat sebagai "Ulama adalah pewaris para Nabi" yang memiliki keistimewaan, sebagai teladan figur-figur yang diharapkan memperbaiki visi kemanusiaan serta menyelamatkan manusia dari kehancuran moral dan peradaban. Sehingga, suatu hal yang sangat penting bagi kehidupan kita semua, yaitu mempertimbangkan fungsi dan peran para ulama di Indonesia saat ini untuk mengatasi berbagai bentuk tantangan dinamika kehidupan untuk masa yang akan datang. 
    Dalam kondisi tersebut di atas, menurut Ahmad Anas dalam bukunya, Paradigma Dakwah Kontemporer Aplikasi Teoritis dan Praktis Dakwah sebagai Solusi Problematika Kekinian; "Ada empat peran keumatan yang menjadi beban para ulama. Pertama, ulama harus berperan sebagai pengawal ajaran Islam, "Pengawalan" di sini terutama dilakukan terhadap dua kelompok, yaitu para pendusta ajaran Allah. Kelompok kedua adalah orang-orang yang berpaling dari ajaran agama. Sebagaimana perintah yang pernah turun kepada nabi Musa as, dan nabi Isa as, maka Allah memerintahkan juga kepada Nabi Muhammad saw untuk umatnya, "Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah-belah (berselisih paham) tentangnya." (QS. Asy-Syura: 13). 
   Kedua, ulama sebagai juru bicara aspirasi dan kepentingan umat Islam. Peran ini meliputi aspirasi tentang bidang ekonomi dan politik (siyasah). Ketiga, sebagai rujukan umat dalam mengatasi persoalan yang mereka hadapi. Peran ini merupakan konsekuensi dari perintah Allah SWT: "maka bertanyalah kepada mereka yang mempunyai pengetahuan (ilmu agama) jika kamu tidak mengetahui." (QS.An-Nahl:43/QS.Al-Anbiya:7). Karena itu, jika umat wajib bertanya, maka ulama wajib memberikan keterangan penjelasan sebagai jawaban atas segala persoalan dengan merujuk pada Al-Qur'an dan Sunnah yang dibawa Nabi saw (QS. An-Nahl: 44).
       Peran keumatan keempat, sebagai integrator umat yang mampu menyatukan seluruh potensi umat. Allah mengisyaratkan dalam Al-Qur'an, bahwa pada awalnya umat manusia (Islam) merupakan satu, umat yang tunggal. Namun kemudian timbul banyak perselisihan sehingga mereka berpecah-belah. Maka saat ini, tugas ulama adalah menyatukan mereka kembali (QS. Al-Baqarah: 213, QS. Yunus: 19). Bukannya malah ikut memperuncing dan memperkeruh biang perselisihan yang sudah terjadi karena memperebutkan kepentingan kehidupan duniawi belaka. Hal ini menuntut kesadaran moril para ulama, bahwa sebenarnya Allah memiliki kehendak agar umat manusia ini bersatu padu, akan tetapi justru manusia itulah yang selalu berselisih pendapat, (baca,QS. Hud: 118). Arti penting dari pola integrasi antar berbagai potensi umat itu merupakan langkah awal mewujudkan tiga impian umat, yaitu: (1) mengangkat otoritas sebagai umat yang menunjukkan kepada yang hak (QS. Al-A'raf: 181). (2) menjadikan diri sebagai umat yang terbaik, mencapai cita-cita umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia (QS. Ali Imran: 110) serta umat teradil yang dipilih Allah menjadi saksi atas perbuatan manusia. (QS. Al-Baqarah: 143) (3) dengan jiwa moderat sebagai umat pertengahan yang menegakkan amar ma'ruf nahi munkar. (QS. Al-Baqarah: 243, QS. Ali Imran: 104, QS. Al-A'raf: 159).
     Tentu saja  dalam mengambil peran tersebut, ulama tidak hanya cukup dengan berbekal ilmu-ilmu keagamaan, tafsir, fiqih dan segala ilmu formal (konseptual Islam) lainnya. Namun para ulama (dan secara keseluruhan segenap unsur dan komponen umat Islam) juga harus memiliki keluasan pengetahuan seorang filosof, kebersihan kepribadian para sufi dan 'irfan dalam menyelami rahasia tazkiyatun nufus. Dan juga memiliki militansi kearifan jihadunnafsi sebagai syarat pokok mengajak umat untuk kembali menempuh kehidupan damai menuju jalan Ilahi. Dengan potensi itu, tidak menutup kemungkinan bagi kita untuk tetap berharap turunnya bantuan hidayah dan pertolongan Allah meniti kebangkitan umat di abad modern babak gerbang penghabisan akhir zaman ini.
     Kebangkitan umat yang dinanti-nantikan, yakni bukan sekedar timbulnya kesadaran beragama yang nampak dari ritual formal berdasarkan syari'at dengan mengaktualkan potensi yang ada; seperti memperoleh kekuasaan politik dan ekonomi semata, tetapi kebangkitan yang sebenarnya, yakni kebangkitan yang didasarkan atas aktualisasi potensi ulama dalam merintis pilar-pilar pokok tuntunan hidayah keumatan yang bersifat dasar, menuju perbaikan berbagai aspek pembangunan berupa dimensi tatanan kebangsaan yang religius, sehingga nantinya benar-benar tercipta keadilan secara merata dalam wujud kesejahteraan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Semua itu memungkinkan dapat terjadi jika seluruh komponen umat saling memahami dan bersatu-berpadu menjabarkan konsep Qur'ani, demi meraih kejayaan Islam menuju ummatan wahidah, dengan tekad teguh untuk bersama berjuang membumikan agama Allah, meraih kejayaan Islam dengan petunjuk-Nya, menata kehidupan Islam yang merupakan manifestasi prinsip tuntunan rahmat bagi semesta alam. Hasbunallahu wani'mal wakil ni'mal maula wani'man nashir. 


    
      

MURAQABAH

PENTINGNYA MURAQABAH
DALAM KEHIDUPAN
 


        










   


        Muraqabah   artinya adanya pengawasan atau terjadinya pengintaian. Ibnu Mubarak berkata, "Hendaknya  engkau bermuraqabah kepada Allah Ta'ala". Seseorang bertanya tentang arti muraqabah lalu Ibnu Mubarak menjelaskan, "Jadilah kamu selama-lamanya seakan-akan melihat Allah Azza wa Jalla."
     Sikap yang demikianlah yang akan menjadikan diri kita dapat terhindar dari perbuatan maksiat dan keingkaran. Akan tetapi tentu tidak semua orang mampu menggunakan hatinya untuk  melihat Allah. Dengan demikian, maka setidaknya ada keyakinan kuat dalam hati. Bahwa Allah SWT tidak sekejap pun lengah melihat atau mengintai segala perbuatan hamba-Nya.
      Al-Qur'an menerangkan : "Tidakkah dia mengetahui bahwa sesungguhnya Allah melihat segala yang diperbuatnya". (QS. Al-'Alaq: 14)."...Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi."     (QS. An-Nisa': 1)
        Begitulah pemahaman Ulama-Ulama terdahulu sehingga beliau sangat berhati hati dalam melakukan suatu perbuatan. Mereka meyakini kalau setiap tarikan nafas dan kejapan mata  tidak pernah terlepas dari pengintaian Allah. Abdul Wahid bin Zaid berkata, "Apabila Tuhanku selalu mengawasiku, maka aku tidak perduli terhadap selain-Nya."
            Abu Hafidh berpesan kepada al-Jariri demikian, "Jika kamu berada di tengah-tengah umat, maka jadilah penasehat yang baik bagi dirimu dan hatimu sendiri. jangan sampai enkau terbujuk oleh umat yang mendukungmu. Sesungguhnya mereka mengawasimu secara lahiriah, sedangkan Allah mengawasi hatimu."
        Merasa selalu diawasi, itulah konsep yang harus diterapkan dalam menapaki kehidupan ini. Sesungguhnya yang mengawasi itu terlebih dahulu melihat daripada kita melihatnya. Pengawasan Allah itu terlebih dahulu mengintai kepada gerak lahir dan gerak batin hamba-hamba-Nya. Jika setiap kita hendak mengambil keputusan, lalu akal memperingatkan bahwa setiap saat ada Dzat Yang Maha Mengawasi terhadap pelaksanaan keputusan itu, tentu kita lebih berhati-hati. Umpama, sekiranya nafsu syahwat seseorang lebih kuat mendorong untuk lebih kuat mendorong untuk lebih 






























ANTARA KALBU DAN NAFSU

         Kegelapan adalah munculnya di dalam hati sifat buruk dan tercela, seperti syirik, riya’, sombong, ujub, berlebih-lebihan dalam mencintai dunia, dan lain-lain. Itulah kegelapan yang berasl dari nafsu. Bila kita biarkan sifat-sifat itu bercokol di dalam hati, maka nafsu akan semakin kuat mencengkram diri kita sehingga menjadi prilaku dan kebiasaan yang sukar diperbaiki.
         Adapun cahaya muncul dari petunjuk Ilahi di dalam hati dan menyinari relung kalbu, hal itu terjadi disebabkan karena upaya dengan penuh kesadaran untuk senantiasa memelihara keimanan, tauhid yang benar, keikhlasan, qana’ah dan sebagainya. Jika suasana hati selalu dihiasi dengan sifat-sifat terpuji, maka tentu akan memberikan pengaruh positif dalam prilaku seseorang.
          Dengan demikian, cahaya Ilahi dapat memutuskan hubungan antara kalbu dan nafsu. Sehingga, seseorang  tidak lagi memiliki rasa khawatir dan buruk sangka kepada Allah. Bila hati telah mendapat cahaya Ilahi, tentu ia dapat memandang mana yang baik dan mana yang buruk maka ia akan bersikap bijaksana atau arif (ma’rifat). Karena hati adalah pusat inspirasi, tempat bersemayamnya keyakinan, tempat iman dan Tauhid, pembuka tabir menuju pendekatan kepada Sang Khalik. Sedangkan hawa nafsu adalah tempat bayang-bayang godaan Iblis laknatullah.































Menghindari Sifat Ujub dan
Merasa Diri Suci     
         Hendaknya kita kita waspada terhadap sikap ujub dan waspada dari menganggap diri telah suci. Yakni klaim atau anggapan bahwa kita telah mendapatkan kesucian dan kesempurnaan jiwa. Sebagaimana Allah SWT menegaskan dalam firman-Nya: “Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dia-lah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa.” (QS. An-Najm: 32).             
   Seorang mukmin yang hakiki, sekuat apa pun kesungguhannya dalam melakukan amal shaleh dan menjauhi perkara yang haram, tetap dia akan terus melihat dirinya sebagai orang yang banyak kekurangannya, dan merasa takut jikalau tidak diterima amalnya. Allah SWT berfirman :
 “Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka.”
(QS.Al-Mukminun: 60)
         Ummul Mukminun, Aisyah ra. Pernah bertanya kepada Nabi saw tentang ayat ini, dengan mengatakan, “Apakah yang dimaksud adalah orang-orang yang meminum khamr dan mencuri (sehingga mereka takut akan disiksa)?”
Maka Nabi saw bersabda: “Tidak wahai putrid as-Shiddiq (Abu Bakar), akan tetapi mereka adalah orang-orang yang berpuasa, shalat, dan bersedekah, sedang mereka khawatir amalan mereka tidak diterima. Mereka adalah orang-orang yang bersegera dalam kebaikan”.  
             Karena itu, al-Hasan al-Bashri rahimahullah menjelaskan, “Seorang mukmin menggabungkan antara perbuatan baiknya dengan rasa takut. Sedangkan orang yang munafik menggabungkan antara perbuatan buruknya dengan rasa aman (dari siksa)”.
            Abdullah bin Abi Mulaikah, salah seorang tabi’in berkata, “Aku bertemu dengan lebih  dari tiga puluh orang sahabat, semuanya mengkhawatirkan kemunafikan atas dirinya”. Akhirnya, kita memohon kepada Allah SWT agar memberikan hidayah kepada kita semua, dan menunjukkan kepada kita jalan-Nya yang lurus, Amin.






Selasa, 16 Juli 2013

ILMU MEMBAWA HATI TAKUT KEPADA ALLAH




Kebijaksanaan, kearifan atau hikmah, tidaklah diberikan  kepada semua orang dengan cuma-cuma. Ia tidak datang begitu saja. 

Firman Allah SWT:  
                           
Allah menganugerahkan al-hikmah (kepahaman yang dalam tentang al-Qur’an dan As-Sunnah)  kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang dianugerahi al-Hikmah itu, maka ia benar-benar dianugerahi karunia yang banyak. Hanya oran-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari petunjuk Allah).”
                                       (QS. Al-Baqarah: 269) 
Agar Ilmu berupa hikmah atau kebijaksanaan kita dapat meningkat dalam pemahaman terhadap hakikat kebenaran maka diperlukan adanya upaya nyata untuk bertauhid dengan sebenar-benarnya.

KEHARUSAN MEMELIHARA KEMURNIAN AQIDAH
            Secara fitrah, manusia lahir ke dunia telah mengenal Tuhannya. Ketika agama-agama samawi belum diturunkan Allah SWT, orang-orang primitif mengenal Tuhan dengan cara menduga-duga. Misalnya meyakini sebuah tempat atau benda memiliki kekuatan lebih, disebabkan karena tidak terbimbing secara sistematis melalui wahyu sehingga mereka mencari Tuhan dengan cara mereka sendiri.
             Dalam masyarakat tertentu, berlaku suatu tradisi yang turun menurun dilaksanakan melalui upacara sakral dengan persembahan sesajian. Biasanya masih terjadi di pedalaman dilakukan oleh masyarakat petani, ketika tiba masa panen mereka melakukan pesta panen yang secara spiritual merupakan persembahan bentuk ucapan syukur dan terima kasih kepada "yang" memberi kemurahan. Begitu pula, ketika para nelayan mendapatkan tangkapan yang melimpah atau ketika hendak turun melaut, mereka terlebih dahulu mengadakan persembahan sesaji. Semua itu termasuk bentuk pencarian Tuhan. 
         Dengan demikian, sesungguhnya secara fitrah, manusia dilahirkan ke  dunia telah bertuhan. Hanya saja dalam pencariannya mereka melakukan dengan caranya sendiri tanpa tuntunan wahyu. Kemudian pada saat agama-agama samawi datang dan para nabi memberikan bimbingan, maka pencarian Tuhan menjadi terarah. Mereka tidak lagi menganggap tempat-tempat keramat, atau benda-benda tertentu sebagai Tuhan.
         Dari zaman ke zaman, silih berganti nabi dan rasul berada di tengah-tengah mereka untuk membimbing dan mengajarkan bagaimana mencari Tuhan dengan ritual yang benar. Begitulah sehingga pada akhirnya kita mengenal Islam
sebagai tuntunan hidup yang lebih sempurna, dibandingkan agama-agama yang dibawa oleh nabi-nabi sebelumnya.
             Betapa lengkapnya informasi tentang ketuhanan yang telah sampai kepada kita melalui Al-Qur'an, maka tentu suatu kekeliruan jika kita masih menerapkan "pencarian Tuhan" layaknya orang yang belum beragama. Meskipun demikian, masih banyak di antara kita yang terjebak pada ritual-ritual di luar ajaran Islam, yang berdampak pada rusaknya akidah. Apabila akidah dicemari oleh kemusyrikan, tentu betapa tersiksanya kita nanti di akhirat ketika sudah datang ajal untuk mempertanggungjawabkan segala perbuatan penyimpangan dan kesesatan kita.