BERANDA
PERAN ULAMA
SEBAGAI PEWARIS KENABIAN
Ulama adalah mereka yang tidak memiliki keraguan sedikit pun bahwa Al-Qur'an turun dari Allah melalui malaikat Jibril, dan diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dalam bahasa Arab. Juga meyakini sebagai rangkuman kitab-kitab sebelumnya. Selanjutnya ia mempelajari, memahami dan mengamalkan secara konsisten ilmu-ilmu yang terkandung di dalamnya. Setelah itu, ia berkewajiban memberi peringatan, dan mengajarkan Al-Qur'an kepada keluarga dan kerabat dekat, dan memasyarakatkannya pada lingkup sosial yang lebih luas lagi.
Adapun sifat-sifat ulama di antaranya, bersikap rendah hati terhadap orang-orang beriman yang mengikutinya, serta bersikap lemah-lembut terhadap orang-orang yang menentangnya sembari mengatakan; "Sesungguhnya aku tidak bertanggungjawab terhadap apa yang kamu kerjakan" (QS. Asy-Syu'ara: 216). Selebihnya, Ulama selalu bertawakkal kepada Allah dalam segala kondisi. Serta senantiasa menyadari akan kemaha-hadiran Allah dalam segala prilaku kehidupan, termasuk dalam ibadah zhahiriyyah maupun bathiniyyah.
Berdasarkan kriteria tersebut, maka selanjutnya Allah menegaskan tentang citra ulama di antara seluruh mahluk hidup yang ada, sebagai berikut: "Dan di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam (jenisnya). Sesungguhnya yang (sangat) takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah para ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun". (QS. Fathir: 28)
Pada ayat sebelumnya, Allah menjelaskan berbagai fenomena akan alam semesta yang kasat mata dan dapat dipelajari oleh akal manusia dengan nalar ilmiah. Sehingga dengan kedalaman pengetahuan yang dimilikinya, ia semakin menyadari akan kebesaran dan kekuasaan Allah. Dengan prinsip inilah, sehingga ulama mendapat derajat termulia di sisi Allah dari segala makhluk-Nya.
Barangkali timbul pertanyaan mengapa "Takut" menjadi parameter yang begitu penting bagi Allah tentang citra ulama, memiliki kedudukan tertinggi di antara para makhluk? Allah menjadikan perasaan takut sebagai kewajiban bagi hamba-hamba-Nya berdasarkan firman-Nya; "maka takutlah kepada-Ku jika kamu (benar-benar) orang yang beriman." (QS. An-Nahl: 51)
Dengan dasar seperti itulah, maka layak jika predikat sebagai "Ulama adalah pewaris para Nabi" yang memiliki keistimewaan, sebagai teladan figur-figur yang diharapkan memperbaiki visi kemanusiaan serta menyelamatkan manusia dari kehancuran moral dan peradaban. Sehingga, suatu hal yang sangat penting bagi kehidupan kita semua, yaitu mempertimbangkan fungsi dan peran para ulama di Indonesia saat ini untuk mengatasi berbagai bentuk tantangan dinamika kehidupan untuk masa yang akan datang.
Dalam kondisi tersebut di atas, menurut Ahmad Anas dalam bukunya, Paradigma Dakwah Kontemporer Aplikasi Teoritis dan Praktis Dakwah sebagai Solusi Problematika Kekinian; "Ada empat peran keumatan yang menjadi beban para ulama. Pertama, ulama harus berperan sebagai pengawal ajaran Islam, "Pengawalan" di sini terutama dilakukan terhadap dua kelompok, yaitu para pendusta ajaran Allah. Kelompok kedua adalah orang-orang yang berpaling dari ajaran agama. Sebagaimana perintah yang pernah turun kepada nabi Musa as, dan nabi Isa as, maka Allah memerintahkan juga kepada Nabi Muhammad saw untuk umatnya, "Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah-belah (berselisih paham) tentangnya." (QS. Asy-Syura: 13).
Kedua, ulama sebagai juru bicara aspirasi dan kepentingan umat Islam. Peran ini meliputi aspirasi tentang bidang ekonomi dan politik (siyasah). Ketiga, sebagai rujukan umat dalam mengatasi persoalan yang mereka hadapi. Peran ini merupakan konsekuensi dari perintah Allah SWT: "maka bertanyalah kepada mereka yang mempunyai pengetahuan (ilmu agama) jika kamu tidak mengetahui." (QS.An-Nahl:43/QS.Al-Anbiya:7). Karena itu, jika umat wajib bertanya, maka ulama wajib memberikan keterangan penjelasan sebagai jawaban atas segala persoalan dengan merujuk pada Al-Qur'an dan Sunnah yang dibawa Nabi saw (QS. An-Nahl: 44).
Peran keumatan keempat, sebagai integrator umat yang mampu menyatukan seluruh potensi umat. Allah mengisyaratkan dalam Al-Qur'an, bahwa pada awalnya umat manusia (Islam) merupakan satu, umat yang tunggal. Namun kemudian timbul banyak perselisihan sehingga mereka berpecah-belah. Maka saat ini, tugas ulama adalah menyatukan mereka kembali (QS. Al-Baqarah: 213, QS. Yunus: 19). Bukannya malah ikut memperuncing dan memperkeruh biang perselisihan yang sudah terjadi karena memperebutkan kepentingan kehidupan duniawi belaka. Hal ini menuntut kesadaran moril para ulama, bahwa sebenarnya Allah memiliki kehendak agar umat manusia ini bersatu padu, akan tetapi justru manusia itulah yang selalu berselisih pendapat, (baca,QS. Hud: 118). Arti penting dari pola integrasi antar berbagai potensi umat itu merupakan langkah awal mewujudkan tiga impian umat, yaitu: (1) mengangkat otoritas sebagai umat yang menunjukkan kepada yang hak (QS. Al-A'raf: 181). (2) menjadikan diri sebagai umat yang terbaik, mencapai cita-cita umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia (QS. Ali Imran: 110) serta umat teradil yang dipilih Allah menjadi saksi atas perbuatan manusia. (QS. Al-Baqarah: 143) (3) dengan jiwa moderat sebagai umat pertengahan yang menegakkan amar ma'ruf nahi munkar. (QS. Al-Baqarah: 243, QS. Ali Imran: 104, QS. Al-A'raf: 159).
Tentu saja dalam mengambil peran tersebut, ulama tidak hanya cukup dengan berbekal ilmu-ilmu keagamaan, tafsir, fiqih dan segala ilmu formal (konseptual Islam) lainnya. Namun para ulama (dan secara keseluruhan segenap unsur dan komponen umat Islam) juga harus memiliki keluasan pengetahuan seorang filosof, kebersihan kepribadian para sufi dan 'irfan dalam menyelami rahasia tazkiyatun nufus. Dan juga memiliki militansi kearifan jihadunnafsi sebagai syarat pokok mengajak umat untuk kembali menempuh kehidupan damai menuju jalan Ilahi. Dengan potensi itu, tidak menutup kemungkinan bagi kita untuk tetap berharap turunnya bantuan hidayah dan pertolongan Allah meniti kebangkitan umat di abad modern babak gerbang penghabisan akhir zaman ini.
Kebangkitan umat yang dinanti-nantikan, yakni bukan sekedar timbulnya kesadaran beragama yang nampak dari ritual formal berdasarkan syari'at dengan mengaktualkan potensi yang ada; seperti memperoleh kekuasaan politik dan ekonomi semata, tetapi kebangkitan yang sebenarnya, yakni kebangkitan yang didasarkan atas aktualisasi potensi ulama dalam merintis pilar-pilar pokok tuntunan hidayah keumatan yang bersifat dasar, menuju perbaikan berbagai aspek pembangunan berupa dimensi tatanan kebangsaan yang religius, sehingga nantinya benar-benar tercipta keadilan secara merata dalam wujud kesejahteraan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Semua itu memungkinkan dapat terjadi jika seluruh komponen umat saling memahami dan bersatu-berpadu menjabarkan konsep Qur'ani, demi meraih kejayaan Islam menuju ummatan wahidah, dengan tekad teguh untuk bersama berjuang membumikan agama Allah, meraih kejayaan Islam dengan petunjuk-Nya, menata kehidupan Islam yang merupakan manifestasi prinsip tuntunan rahmat bagi semesta alam. Hasbunallahu wani'mal wakil ni'mal maula wani'man nashir.
Dalam kondisi tersebut di atas, menurut Ahmad Anas dalam bukunya, Paradigma Dakwah Kontemporer Aplikasi Teoritis dan Praktis Dakwah sebagai Solusi Problematika Kekinian; "Ada empat peran keumatan yang menjadi beban para ulama. Pertama, ulama harus berperan sebagai pengawal ajaran Islam, "Pengawalan" di sini terutama dilakukan terhadap dua kelompok, yaitu para pendusta ajaran Allah. Kelompok kedua adalah orang-orang yang berpaling dari ajaran agama. Sebagaimana perintah yang pernah turun kepada nabi Musa as, dan nabi Isa as, maka Allah memerintahkan juga kepada Nabi Muhammad saw untuk umatnya, "Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah-belah (berselisih paham) tentangnya." (QS. Asy-Syura: 13).
Kedua, ulama sebagai juru bicara aspirasi dan kepentingan umat Islam. Peran ini meliputi aspirasi tentang bidang ekonomi dan politik (siyasah). Ketiga, sebagai rujukan umat dalam mengatasi persoalan yang mereka hadapi. Peran ini merupakan konsekuensi dari perintah Allah SWT: "maka bertanyalah kepada mereka yang mempunyai pengetahuan (ilmu agama) jika kamu tidak mengetahui." (QS.An-Nahl:43/QS.Al-Anbiya:7). Karena itu, jika umat wajib bertanya, maka ulama wajib memberikan keterangan penjelasan sebagai jawaban atas segala persoalan dengan merujuk pada Al-Qur'an dan Sunnah yang dibawa Nabi saw (QS. An-Nahl: 44).
Peran keumatan keempat, sebagai integrator umat yang mampu menyatukan seluruh potensi umat. Allah mengisyaratkan dalam Al-Qur'an, bahwa pada awalnya umat manusia (Islam) merupakan satu, umat yang tunggal. Namun kemudian timbul banyak perselisihan sehingga mereka berpecah-belah. Maka saat ini, tugas ulama adalah menyatukan mereka kembali (QS. Al-Baqarah: 213, QS. Yunus: 19). Bukannya malah ikut memperuncing dan memperkeruh biang perselisihan yang sudah terjadi karena memperebutkan kepentingan kehidupan duniawi belaka. Hal ini menuntut kesadaran moril para ulama, bahwa sebenarnya Allah memiliki kehendak agar umat manusia ini bersatu padu, akan tetapi justru manusia itulah yang selalu berselisih pendapat, (baca,QS. Hud: 118). Arti penting dari pola integrasi antar berbagai potensi umat itu merupakan langkah awal mewujudkan tiga impian umat, yaitu: (1) mengangkat otoritas sebagai umat yang menunjukkan kepada yang hak (QS. Al-A'raf: 181). (2) menjadikan diri sebagai umat yang terbaik, mencapai cita-cita umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia (QS. Ali Imran: 110) serta umat teradil yang dipilih Allah menjadi saksi atas perbuatan manusia. (QS. Al-Baqarah: 143) (3) dengan jiwa moderat sebagai umat pertengahan yang menegakkan amar ma'ruf nahi munkar. (QS. Al-Baqarah: 243, QS. Ali Imran: 104, QS. Al-A'raf: 159).
Tentu saja dalam mengambil peran tersebut, ulama tidak hanya cukup dengan berbekal ilmu-ilmu keagamaan, tafsir, fiqih dan segala ilmu formal (konseptual Islam) lainnya. Namun para ulama (dan secara keseluruhan segenap unsur dan komponen umat Islam) juga harus memiliki keluasan pengetahuan seorang filosof, kebersihan kepribadian para sufi dan 'irfan dalam menyelami rahasia tazkiyatun nufus. Dan juga memiliki militansi kearifan jihadunnafsi sebagai syarat pokok mengajak umat untuk kembali menempuh kehidupan damai menuju jalan Ilahi. Dengan potensi itu, tidak menutup kemungkinan bagi kita untuk tetap berharap turunnya bantuan hidayah dan pertolongan Allah meniti kebangkitan umat di abad modern babak gerbang penghabisan akhir zaman ini.
Kebangkitan umat yang dinanti-nantikan, yakni bukan sekedar timbulnya kesadaran beragama yang nampak dari ritual formal berdasarkan syari'at dengan mengaktualkan potensi yang ada; seperti memperoleh kekuasaan politik dan ekonomi semata, tetapi kebangkitan yang sebenarnya, yakni kebangkitan yang didasarkan atas aktualisasi potensi ulama dalam merintis pilar-pilar pokok tuntunan hidayah keumatan yang bersifat dasar, menuju perbaikan berbagai aspek pembangunan berupa dimensi tatanan kebangsaan yang religius, sehingga nantinya benar-benar tercipta keadilan secara merata dalam wujud kesejahteraan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Semua itu memungkinkan dapat terjadi jika seluruh komponen umat saling memahami dan bersatu-berpadu menjabarkan konsep Qur'ani, demi meraih kejayaan Islam menuju ummatan wahidah, dengan tekad teguh untuk bersama berjuang membumikan agama Allah, meraih kejayaan Islam dengan petunjuk-Nya, menata kehidupan Islam yang merupakan manifestasi prinsip tuntunan rahmat bagi semesta alam. Hasbunallahu wani'mal wakil ni'mal maula wani'man nashir.





